CANDI TIKUS SEBAGAI PETIRTAAN
PADA
MASA KERAJAAN MAJAPAHIT
Arifatul Ilma/16.1.01.02.0009
Arifatul Ilma/16.1.01.02.0009
Indonesia merupakan negara yang kaya akan warisan
budaya (cultural heritage). Kenyataan obyektif memperlihatkan bahwa wilayah
Indonesia dengan luas 1.910.931.32 km persegi dipenuhi dengan peninggalan
budaya masa lampau (Sewoyo, 2005 : 1). Didaerah jawa timur ditemukan banyak
peninggalan sejarah dan purbakala yang beragam jenis dan bentuknya. Salah satu
dari sekian banyak peninggalan masa lampau tersebut adalah situs perkotaan
(town site) masa klasik di Trowulan.
Trowulan merupakan salah satu
kecamatan di daerah Mojokerto yang merupakan situs klasik di Indonesia yang
memiliki peninggalan- peninggalan arkeologis sangat kaya dan sangat kompleks
yang mengacu pada situs perkotaan masa Majapahit dilihat dari distribusinya,
peninggalan – peninggalan arkeologisnya tersebar dalam wilayah yang sangat
luas. Hasil survei yang dilakukan dalam kegiatan IFSA (Indonesian Field School
of Arcaheology) menunjukkan bahwa wilayah sebaran peninggalan- peninggalan
arkeologisnya kurang lebih mencapai sepanjang 11 km, arah utara –selatan dan 9
km arah timur-barat. Dengan demikian, wilayah situs Trowulan hampir mencapai
luas 100 km persegi (Subroto, 1997 :111)
Di daerah yang luas, terdapat jenis-jenis
peninggalan, baik yang berupa artefak maupun non artefak.
Peninggalan-peninggalan yang berupa artefak dapat dibedakan atas data yang
tekstualdan data non tekstual. Data tekstual yang berupa karya sastra (naskah
kuna) terdiri atas kitab-kitab kakawin yang ditulis dengan menggunakan bahasa
Jawa Tengahan. Jenis –jenis peninggalan artefak non tekstual dapat dibedakan
atas temuan temuan arkeologis yang berupa struktur bangunan dan non
bangunan.Peninggalan- peninggalan yang berupa struktur bangunan atas dibedakan
atas bengunan- bangunan yang bersifat profan dan saklar ditunjukkan antara lain
oleh sisa- sisa fondasi, lantai, genteng, dan unsur- unsur bangunan yang
lain.Sisa- sisa fondasi tersebut antara lain ditemukan di situs dekat balai
penyelamatan, disitus dekat pendopo Agung dan lantai bangunan ditemukan di
situs Sentonorejo. Dapat ditambahkan bahwa disamping struktur bangunan yang
diperkirakan bekas hunian, juga ditemukan struktur lain berupa sumur kuna bekas
saluran air, dan kolam ( segaran). Jenis- jenis artefak non bangunan yang
ditemukan di Trowulan. Temuan gerabah menunjukkan variasi yang sangat tinggi,
baik dilihat dari jenis maupun keanekaragaman motif-motif hiasannya. Disamping
data artefak, disitus Trowulan juga ditemukan data non artefak yang terdiri
atas data Ekofak dan Fitur. Data Ekofak yang ditemukan terutama berupa bekas
saluran air, bendungan dan bekas lubang sampah (Subroto, 1997 :112)
Didaerah Trowulan dan sekitarnya,
terdapat bangunan- bangunan yang sangat erat hubungannya dengan keagaamaan,
seperti candi tikus, candi bajang ratu, candi wringin lawang, candi kedaton,
candi gentong, dan candi Brahu. Dari sekian banyak bangunan- bangunan tersebut,
terdapat candi yang digunakan sebagai petirtan yakni Candi Tikus. Candi tikus terletak di Desa Temon,
Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Candi tikus merupakan bangunan
petirtaan. Karena kita dapat melihat adanya miniatur candi di tengah bangunannya
yang melambangkan gunung Mahameru. Candi atikus ditemukan pada tahun 1914 Oleh
seorang penduduk. Awalnya, serangan hama yang terus menerus melanda daerah
tersebut membuat resah para warga kemudian oleh seorang bupati Mojokerto yaitu
R.A.A Kromodjojo Adinegoro diperintahkan untuk memburu tikus tikus tersebut,
maka dilakukanlah penyergapan hama tikus tersebut setelah dilakukan ternyata
tikus-tikus itu bersarang di sebuah gundukan. R.A.A Kromodjojo Adinegoro
memerintahkan untuk membingkar gundukan tersebut dan ditemukanlah sebuah candi
yang kemudian dinamakan Candi Tikus (Tim Kelompok Kerja BPA, 1998 : 44)
Candi Tikus
merupakan salah satu dari kumpulan situs bersejarah yang ada di Trowulan,
mojokerto tepatnya, Candi ini berlokasi di desa temon, Trowulan, mojokerto,
Jawa Timur. Wujud candi tikus adalah petirtaan berbentuk persegi dengan 22,5 x
22,5 m dan luas 5,29 m. Bagian candi ini terdiri dari miniatur candi yang
dikelilingi pancuran, kolam utama, dua kolam pemandian, serta dinding candi
yang bertingkat-tingkat. Pemugaran candi dilakukan dua kali. Pemugaran pertama
pada tahn 1984- 1985. Kemudian pemugaran yang terakhir pada tahun 1988-1989
(Ayudya dan Anastasia, 2002 : 187). Gambaran secara umum tentang struktur candi
tikus adalah sebagai berikut. Ketika dilakukan pemugaran pada tahun 1984-1985
berhasil disingkap sisi tenggara bangunan candi tikus. Kaki bangunan yang
terdapat di sisi tersebut, Menunjukkan perbedaan ukuran bata merah yang
dipergunakan sebagai bahan bakunya. Hal ini semakin memperkuat dugaan mengenai
dua tahap pembangunan candi tersebut. Sisi bangunan tahap pertama yang disusun
dari bata merah yang berukuran besar tampak ditutup oleh kaki bangunan tahap
kedua yang tersusun dari bata merah yang berukuran lebih kecil. Kapan secara
pasti pembangunan tahap pertama dan kedua ini dilakukan, belum jelas benar.
Adanya tangga yang menurun disebelah utara, memberi kesan bahwa bangunan candi
tikus ini memang sengaja dibuat dibawah permukaan tanah. Tangga menurun di
sebelah utara itu, sekaligus merupakan petunjuk bahwa bangunan memiliki arah
hadap ke utara. Dua buah kolam berbentuk persegi empat yang berukuran 3,5 x 2 m
dengan kedalaman 1,5 m yang mengapit tangga masuk. Masing- masing kolam
tersebut dilengkapi dengan tiga buah pancuran air yang berbentuk bunga padma
(teratai) dan terbuat dari bahan batu andesit.
Dinding
Candi tikus terdiri dari tiga tingkat. Tinggi dinding candi adalah 5,20 m,
bahan bangunan yang dipakai di dominasi oleh batu bata sedang batu andesitnya
di gunakan untuk pansurannya, diukur dari dinding terluar atau teratas. Dinding
candi yang dibuat berteras atau berundak ini memiliki fungsi untuk menahan
tanah disekitarnya agar tidak longsor. Pada dinding bagian bawah serta batur
candi inilah terdapat 46 buah pancuran namun kini tinggal 19 buah saja,
sedangkan yang lainnya masih tersimpan di museum Trowulan. Untuk masuk ke
Petirtaan candi tikus ini, ada sebuah pintu masuk berupa tangga yang dimulai
dari dinding terluar candi. Anak tangga pertama berjumlah tujuh buah, kemudian
terus ke bawah jumlahnya semakin bertambah. Orientasi candi tikus adalah
menghadap utara. Kolam pemandian candi tikus berjumlah dua buah yang terletak
di sisi kanan dan kiri petirtaan . Kedua kolam itu, berukuran sama yaitu
panjang 3,5 m, lebar 2m ,dan tinggi 1,05m. Pintu masuk kolam tersebut mempunyai
tangga yang terletak di sebelah selatan yang berukuran 1,2 m. Dinding utara
kolam terdapat pancuran, masing- masing berjumlah tiga buah. Kolam pemandian
ini mengapit pintu masuk. Di zaman dahulu, kolam disebelah kanan digunakan oleh
pria, dan disebelah kiri untuk wanita. Kolam pemandian ini berbentuk persegi,
dan di kedua kolam terdapat celah sebagai pintu masuk (Jamil, 2012 : 12)
Bangunan
induk petirtaan memiliki miniatur candi
yang terletak lurus dari pintu masuk. Miniatur candi ini sudah bercorak hindu.
Bagian utama dari miniatur candi berupa gapura. Gapura ini memiliki hiasan
berupa kala makara. Miniatur candi ini juga berfungsi sebagai tempat pemujaan.
Bangunan induk terletak di tengah, kakinya menempel pada teras bawah dinding
selatan. Struktur –struktur bangunan induk terdiri dari kaki tubuh, atap. Kaki
candi berbentuk segi empat dengan ukuran panjang 7,75 m , lebar 7,65 m , dan
tinggi 1,5 m . Pada bagian kaki ini terdapat saluran air tertutup mengelilingi
kaki, lebar 17cm dan kedalaman 54 cm, berguna untuk memasok air ke pancuran.
Tubuh candi berbentuk bujur sangkar berukuran 4,8 x 4,8 m. Di sisi barat, utara
dan timur menempel pada bagian luar tubuh candi, terdapat menara semu masing- masing berjumlah 5 buah.
Keseluruhan bangunan candi tikus terbuat dari batu bata merah dengan
ukuran besar yang ditimpa dengan batu bata yang lebih
kecil. Sebagian dari pancuran ada yang terbuat dari batu andesit. Pasokan air
di petirtaan ini diperoleh dari saluran yang ada di bagian selatan dari
pegunungan. Sedangkan untuk saluran pembuangannya terdapat di lantai dasar
kolam. Arsitektur bangunan candi tikus melambangkan kesucian gunung mahameru
sebagai tempat bersemayamnya para dewa. Menurut kepercayaan hindu, Gunung
mahameru merupakan tempat sumber tirta amerta (air kehidupan) yang dipercaya
mempunyai kekuatan magis dan dapat memberikan kesejahteraan. Sehingga air yang
mengalir di petirtaan tikus dianggap bersumber dari gunung Mahameru. Lebih
lanjut lagi, candi tikus merupakan replika atau simbolis gunung Mahameru. Hal
itu berkaitan dengan konsep religi yang melatarbelakangi candi, di samping itu
model bangunan candi tikus yang semakin ke atas makin kecil dan pada bangunan
induk seakan- akan terdapat puncak utama
yang dikelilingi oleh delapan puncak yang lebih kecil. Petirtaan tikus yang
dianggap sebagai replika gunung mahameru yang merupakan gunung suci sebagai
pusat alam semesta yang mempunyai suatu landasan kosmogoni yaitu kepercayaan
yang mengharuskan adanya keserasian antara dunia (mikrokosmos) dan alam semesta
(makrokosmos). Berdasarkan landasan kosmogoni tersebut, maka setiap air yang
keluar dari bangunan induk ini dipercaya sebagai air suci (amerta). Dalam
konsep Hindu, alam semesta ini terdiri atas suatu benua pusat yang bernama
Jambudwipa yang dikelilingi oleh tujuh lautan dan tujuh daratan dan semuanya
dibatasi oleh suatu pegunungan tinggi (Tim Kelompok Kerja BPA, 1998 : 45)
Simbol- simbol
semacam itu sebenarnya mempertegas manusia merupakan makhluk yang penuh dengan
lambang, bagian realitas lebih dari sekedar tumpukan fakta-fakta. Ada semacam
simbiosis mutualisme antara makhluk hidup dengan alam sekitarnya karena pada
dasarnya setiap makhluk hidup sangat dipengaruhi lingkungan sekitar yang
menghidupi keberadaan dirinya. Konsep semacam ini dapat ditemukan dalam konsep
triloka yang dibangun dari kepercayaan agama Hindu- Buddha dengan menempatkan
semesta pada dua versi antara jagad gede (makrokosmos) dan jagad cilik
(mikrokosmos). Penempatan candi tikus sebagai simbol keagungan gunung mahameru,
secara tidak langsung telah menisbahkan adanya suatu perkaitan yang erat antara
manusia dengan alam yang ada di sekitarnya. Keyakinan semacam itu, sebenarnya
tumbuh dari pembacaan awal manusia terhadap gejala alam dengan menggunakan logika dasar. Namun, tidak
bisa dinafikkan pembacaan semacam itu yang termanifestasikan dalam bangunan
model candi tikus merupakan salah satu pijakan yang membantu terbentuknya pola
pemikiran manusia masyarakat jawa tradisionalis dan peletak pertama dasar-
dasar pemikiran masyarakat jawa secara general. Dari hasil penelitian yang
telah dilakukan oleh para arkeolog, terbukti bahwa bata merah yang berukuran
lebih besar berusia lebih tua di banding dengan bata merah yang berukuran lebih
kecil. Dapat dikatakan bahwa selama masa berdiri dan berfungsinya, candi tikus
pernah mengalami 2 tahap pembangunan. Menurut Krom, Tahap pertama, saluran
airnya terbuat dari bata merah dan memperlihatkan bentuknya yang kaku.
Sedangkan tahap kedua, saluran airnya terbuat dari batu andesit dan
memperlihatkan bentuknya yang lebih dinamis serta dibuat pada masa keemasan
majapahit. Dapat disimpulkan bahwa Candi tikus telah berdiri sebelum kerajaan majapahit
mencapai masa keemasannya, yaitu pada masa pemerintahan Hayam Wuruk. Candi
tikus juga memiliki dua kolam dan saluran- saluran air yang mengandung struktur
petirtaan. Adanya pancuran air di candi tikus (Jaladwara) yang berbentuk makara
dan padma, makara merupakan perubahan bentuk tunas-tunas yang keluar dari
bonggol teratai, sedangkan padma merupakan teratai itu sendiri.
Dalam sumber yang diterbitkan KPRI Purbakala Trowulan
(1998: 45), Berbeda dengan bangunan candi yang lain, candi tikus letaknya berada
di bawah permukaan tanah. Candi ini menurut catatan hasil penelitian yang telah
dilakukan H. Maclaine Pont pada tahun 1926, setidaknya terdapat 18 buah waduk
besar yang diduga kuat dibangun pada masa majapahit (letaknya kini tersebar di
seluruh kabupaten Mojokerto). Dari 18 buah waduk besar itu 4 buah diantaraanya
terletak di daerah Trowulan. Yaitu di desa Baureno, Kumitir, Domas, dan Temon.
Waduk- waduk besar ini berfungsi sebagai tempat penampungan air pertama untuk
selanjutnya dialirkan ke tempat- empat lain. Dari ke-4 waduk besar yang
terletak di daerah trowulan, Waduk Baureno diduga merupakan sumber dari air
yang masuk ke candi tikus.Untuk selanjutnya air dari candi tikus ini
didistribusikan ke arah kota. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
alm. Didiek Samsu W.T. selama tahun 1986/1987, diketahui bahwa debit air rata-
rata dari pancuran-pancuran lebih kurang 400 kubik. Sedangkan jika lantai dasar
candi tikus mulai tergenang dan pancuran air memancarkan air lebih jauh, dapat
diartikan bahwa musim hujan telah menjelang. Ini berarti pula bahwa pada musim
hujan debit air di candi tikus akan naik, sehingga bisa jadi patokan untuk
membuka atau menutup pintu air di waduk atau bendungan.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Islamy Jamil. 2012. Jelajah : Sisa kota Kuno Majapahit. Jakarta : Republika.
Anindita ayudya dan Anastasia RY. 2002. Tempat
liburan Akhir Pekan di Mojokerto.
Hendro Sewoyo. 2005. Pariwisata dan Pelestarian Situs (Studi Tentang Upaya Pelstarian Situs
Trowulan Melalui Pariwisata. Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan
Pariwisata Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Subroto. 1997.
Sarasehan Pelestarian dan
Pemanfaatan Situs Trowulan Pacet- Mojokerto. Dalam Kerjasama Pemerintah Daerah tingkat I Jawa Timur dan Suaka
Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur.
Tim Kelompok Kerja BPA. 1998. Mengenal Majapahit Melalui Peninggalannya di Balai Penyelamatan Arca
Trowulan dan Sekitarnya. Mojokerto : Koperasi Pegawai Republik Indonesia
Purbakala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar